Dia lalu mendatangi Komnas Perlindungan Anak, meminta bantuan agar Mahkamah Agung (MA), mempertimbangkan kembali putusan bebas suaminya itu.
"Komnas Anak bersama Ibu Windri akan meminta kepada Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan kembali putusan pengadilan tingkat pertama, yang menyatakan bahwa suami Ibu Windri bebas, karena menderita penyakit jiwa," tutur Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait di Sekretariat Komnas PA, Jakarta Timur, Kamis.
Arist menilai pihak pengadilan terburu-buru memutuskan menyatakan terdakwa Petrus menderita gangguan jiwa.
Oleh karenanya, dia berencana berkomunikasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan pihak MA pada Januari 2017.
"Kami berkesimpulan bahwa pengadilan terburu-buru memutuskan menyatakan bebas, karena menderita penyakit jiwa. Mungkin awal Januari, kami akan berkomunikasi dengan JPU untuk meminta putusannya ke pengadilan negeri. Kami juga (ke MA) akan membawa bukti-bukti baru, kronologinya. Termasuk bu Windri, akan kami bawa," sambung Arist.
Dalam kesempatan itu, Windri mengatakan suaminya tak memiliki gejala masalah kejiwaan apapun.
Hal ini dipertegas dengan keputusan Kapolres Melawi, AKBP Cornelis M. Simanjuntak yang pada Januari lalu menaikkan pangkat Petrus dari Briptu menjadi Brigadir.
"Bagaimana orang yang dianggap gila oleh hakim bisa merencanakan pembunuhan ini. Bagaimana orang gila bisa merencanakan setelah membunuh anak dan istrinya akan membakar jasad korbannya dengan kayu yang sudah dipersiapkan di belakang rumah," tutur Windri.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sintang menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa Petrus Bakus yakni mantan polisi di Polres Melawi yang mutilasi dua anak kandung.
Dalam sidang putusan akhir di Pengadilan Negeri (PN) Sintang, Kamis (1/12) ketua majelis hakim, mengatakan, sesuai ketentuan Pasal 44 KUHP, terdakwa Petrus Bakus tidak dapat dijatuhi pidana dan lepas dari segala tuntutan hukum, lantaran dianggap sakit jiwa atau gila.
Editor: Hence Paat
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar