"Karena Jakarta ini tanahnya lunak dan dikepung patahan aktif. Entah dari mana saja pusat gempanya, guncangannya pasti terasa kuat," kata Dwikorita di Jakarta, Rabu, dalam diskusi "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8,7. Siapkah Jakarta?" yang digelar Ikatan Alumni Meteorologi dan Geofisika.
Ia mencontohkan gempa dengan magnitudo 6,1 yang berpusat di Lebak pada Januari 2018 guncangannya sangat dirasakan oleh warga Jakarta. Menurut dia, guncangan akibat gempa kekuatannya baru 1:10 kali dari guncangan yang diperkirakan bermagnitudo 8,7 atau setara dengan gempa di Aceh pada 2004.
Dwikorita menjelaskan pula bahwa tanah Jakarta lunak, sehingga meski jaraknya jauh dari pusat gempa, amplifikasi guncangan tanahnya bisa menyebabkan kerusakan di wilayahnya.
"Jadi jarak pusat gempa dengan kota yang jauh tidak berarti guncangannya lemah karena tergantung dari struktur tanah, kalau tanahnya lunak maka guncangannya akan terasa keras lagi," tambah dia.
Kepala BMKG menjelaskan pula bahwa wilayah Jakarta berisiko menghadapi gempa bumi yang bersumber dari zona megathrust subduksi dan sesar aktif. Dan tebalnya lapisan tanah lunak di Jakarta berpotensi memicu amplifikasi/penguatan guncangan saat terjadi gempa kuat.
Jika terjadi gempa kuat di Zona Megathrust, maka sebagian besar wilayah Jakarta memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap gempa bumi.
Dia menyebutkan bahwa Jakarta sudah mengalami empat gempa yang merusak, yakni pada 1699, 1757, 1880, dan 1834.
"Persepsi bahwa Jakarta aman gempa adalah keliru, karena gempa Lebak M 6,1 pada 23 Januari 2018 intensitasnya mencapai V-VI MMI di Jakarta," katanya merujuk pada Modified Mercalli Intensity (MMI), skala untuk mengukur kekuatan gempa bumi.
Oleh karena itu, menurut dia, warga Jakarta harus mulai memahami risiko bahaya gempa bumi, memahami mitigasi bencana gempa bumi, serta memperhatikan aspek keamanan bangunan terhadap gempa. Ia menyarankan audit bangunan dan gedung bertingkat untuk memastikan keamanan bangunan dari gempa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar